Kamis, 22 Mei 2008

Generasi Muda Wajib Menghargai Dan Menghormati Jasa Para Pahlawan

Pahlawan sebagai orang yang memiliki jasa yang sangat besar bagi perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan republik Indoneia patut menjadi panutan dan contoh bagi setiap individu generasi muda terlebih semangat juang para pahlawan tersebut harus tetap melekat pada diri generasi muda khususnya dalam mengisi pembangunan Indonesia di era globalisasi dan moderenisasi saat ini.

Hal tersebut dikatakan Kepala Dinas Pendidikan kabupaten Banjar Drs. H. Fathurrahman pada saat melepas kontingen Napak Tilas Jejak Pahlawan kabupaten Banjar tahun 2007, pada Jum’at (9/11) di halaman kantor Dinas Pendidikan Nasional setempat.

Menurutnya, napak tilas jejak pahlawan merupakan sebagai wahan pembalajaran yang sangat positif bagi generasi muda dalam rangka menghargai serta mengetahui secara langsung, sejauhmana perjalanan para pejuang dan pahlawan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan negara republik Indonesia dari para penjajah.

H. Fathurrahman menjelaskan, banyak pelajaran yang sangat penting dan perlu menjadi bahan pemikiran dan telaahan bagi generasi muda, dimana dalam prosesi merebut dan mempertahankan kemerdekaan para pejuang rela berkorban harta dan benda ahkan tenada serta keluarga. Untuk itu para generasi pemuda dapat merasakan dan menelusuri beberapa tempat yang mnejadi lokasi perjalanan atau tempat peristirahatan para pejuang baik dalam menyusun setrategi perang ataupun melakukan penyerangan terhadap basis-basis pertahanan musuh.

Mantan Sekretaris DPRD Banjar ini juga mengatakan, para peserta juga diajarkan tentang bagaimana sulitnya hidup pada masa-masa perjuangan kemerdekaan, selain itu para peserta juga diberi pembelajaran tentang arti sebuah pengorbanan dan perjuangan, dimana para pejuang dan para pahlawan secara ikhlas dan sukarela telah mengorbankan segalanya untuk mencapai kemerdekaan yang hakiki serta terbebas dari semua penjajahan baik itu penjajahan yang bersifat rohani maupun jasmani.

Sementara Pimpinan rombongan Matnor, S.Pd melaporkan, kegiatan napak tilas ertujuan untuk menanamkan tentang menghargai perjuangan para pahlawan yang ada di daerah-daerah Kalimantan Selatan pada generasi muda dan menanamkan sikap patriotisme dan semangat kejuangan serta mempererat persaudaraan dan persatuan dikalangan generasi muda. Kegiatan yang merupakan agenda rutin tahunan yang dikoordinir oleh pemerintah provinsi Kalimantan Selatan, dengan peserta utusan dari seluruh kabupaten/kota se-Kalsel.
Napak tilas yang akan pelaksanaannya dipusatkan di kabupaten Tanah Bumbu ini, akanm dilaksanakan dari tanggal 9 nopember sampai dengan 12 Nopember 2007. Rombongan napak tilas Kabupaten Banjar diperkuat oleh 14 orang peserta yang terdiri dari 5 orang peserta putri dan 5 orang peserta putra dengan jumlah pendaping dan tim kesehatan 4 orang.

Pahlawan

Pahlawan adalah orang yang sangat gagah berani. “Pejuang yang gagah berani atau yang terkemuka“, kata WJS. Purwodarminto mengartikan pahlawan dalam kamus bahasa Indonesia.

Batasan itu sangat luas. Penuh makna dan memberikan kesampatan untuk ditafsirkan berbeda-beda. Karena ukurannya hanya yang gagah berani. Tidak ada penjelasan gagah berani dalam hal apa. Untuk apa dan menurut siapa. Padahal kenyataannya gagah berani itu bisa bermacam-macam.

Dalam realitas, kata pahlawan acapkali bertukar makna dengan kata-kata lain yang berlawanan, seperti pemberontak, penghianat, pengacau dan kata-kata lain yang sejenis. Pejuang-pejuang Gerakan Atjeh Merdeka mungkin dianggap pahlawan oleh sebagian kelompok masyarakat Aceh yang memang berharap dapat merdeka karena tekanan militer yang biadab. Begitu juga pejuang-pejuang Fretelin akan mendapat gelar pahlawan kemerdekaan. Namun di sisi lain mereka itu tak lebih dari pengacau keamanan di hadapan petinggi militer Indonesia atau bahkan di hadapan bangsa Indonesia.

Dalam dunia pewayangan cerita semacam itu juga ada. Bangsa Astina menganggap Karna dipandang sebagai pahlawan. Ia tidak sekedar sebagai penasihat perang. Ketika ditunjuk sebagai senopati, langsung sepakat. Ia dengan gagah berani telah mempertaruhkan nyawanya untuk membela bangsa Astina. Tidak tanggung-tanggung, orang yang diperangi adalah saudara-saudara sekandungnya sendiri, Bangsa Pendawa. Deras air mata ibunya, Dewi Kunti tak mampu meluluhkan keras hati Karna. Ia gugur di medan perang, setelah terbunuh oleh pusaka Pasopati yang ditancapkan Arjuna, adiknya sendiri. Sebelum mati, beberapa nyawa kerabat Pendawa melayang, termasuk nyawa Gatutkaca anak Werkudara. Karena itulah, oleh Pendawa, Karna dianggap sebagai pengkhianat, tidak punya rasa persaudaraan tinggi. Karna rela membunuh kerabat kandung demi bangsa lain.

Orang lantas bertanya, “Kalau begitu pahlawan itu mesti yang bagaimana?” Pahlawan memang orang yang sangat gagah berani, sebagaimana dikatakan Purwadarminta. Tetapi, didalam gagah berani itu harus ada pondasinya. Ya hati nurani, kebenaran, etika, moral, yang bertumpu pada manusia dan kemanusiaan. Sebab kalau tidak demikian, maling pun bisa disebut pahlawan.

Sebenarnya, gejala mudah merasa menjadi seorang pahlawan setelah terkesan gagah (meski sebenarnya picik) tidak asing lagi disekitar kita. Bahkan untuk menunjukkan rasa gagahnya mereka berupaya merampas hak orang lain dengan berbagai cara dan mencari-cari kelemahan sang korban.

Nurani nomor seratus bagi mereka. Atau bahkan kegilaan mereka untuk dapat disebut pahlawan, mereka tidak lagi meraba nurani untuk sekedar berusaha menghormati (perasaan) orang lain. Tapi berusaha menuntut hak untuk selalu dihormati karena dia adalah seorang pahlawan. Bagaimana tidak, di lingkungan sekitar kita mereka yang tak ada kaitan sama sekali dengan militer, mereka sibuk membuat satgas ini-satgas itu. Mereka dengan gagah berani memamerkan diri sebagai cecunguk militer, tanpa peduli sebenarnya mereka tak ada artinya di hadapan komunitas militer. Sepatu lars ala tentara dan seragam hijau yang dengan bangga mereka pamerkan seakan menjadi legalitas untuk merakusi segala kelemahan orang lain demi kenikmatan pribadi.

Sebenarnya, ketika saya masih di pesantren, saya pernah mendengar Mbah Yai bercerita tentang seorang wali yang menyatakan bahwa kalaupun nuranimu menghalalkan pencurian, maka pencurian itu halal hukumnya. Hal ini mengingat nurani manusia adalah tempat dimana nur ilahi bersemayam. Sebuah cahaya hati yang tak mungkin mendukung kekeliruan dalam bentuk yang sekecil apapun. Namun kini saya menjadi ragu dengan pernyataan itu, ketika saya melihat betapa ambisi-ambisi segelintir mahasiswa untuk menjadi pahlawan seakan tanpa nurani. Akankah nurani mereka telah menjadi robot-robot ambisi seorang pahlawan. Logikanya mahasiswa yang belajar dalam komunitas kampus yang berlabel Islam, tidaklah semestinya mencari-cari kelemahan orang lain dan kemudian merakusi apa yang menjadi hak miliknya. Tapi label Islam itu tak lagi berguna atau bahkan tenggelam jauh dibebani ambisi seorang Pahlawan.

Yang pasti mungkin kita perlu menggelar seminar tentang arti pahlawan yang sebenarnya. Atau setidaknya kita beramai-ramai menemui Purwadarminta untuk mempertanggungjawabkan arti kepahlawanan yang dia buat, karena saat ini di negara kita punya kerikil-kerikil yang siap menterjemahkan arti pahlawan yang seluas-luasnya untuk merakusi orang-orang lugu yang masih punya dan mengandalkan nurani dan bersikukuh di jalan yang benar.

"Pahlawan-pahlawan" yang Terlupakan..

Bunyi dua mesin tik lusuh, memenuhi ruangan 3 x 4 meter di Gedung Juang 45, Kota Sukabumi, Kamis (23/3). Jari-jari renta-dua bekas pejuang-terlihat bersemangat menekan tuts mesin tik. Di salah satu meja di pojok ruangan, Sum Suparto (82) sedang sibuk membaca beberapa lembar kertas usang. Suparto adalah mantan pejuang yang berdinas di militer hingga tahun 1950. Senin dan Kamis adalah waktu berkumpulnya anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Suparto mengawali karir militernya dengan masuk menjadi tentara Angkatan Laut Belanda pada tahun 1942, dan bertugas di Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi. Dia bertugas menerima informasi dari peneropong langit mengenai ada atau tidaknya musuh. Informasi itu akan diteruskan kepada komandannya.

Hanya beberapa bulan mengenakan seragam Belanda, Suparto tertangkap oleh pasukan Jepang saat berjaga di Kebun Karet Cikaso, Kecamatan Tegalbuleud. Dia pun berganti seragam menjadi tentara Jepang. Tanpa pemberitahuan yang jelas, pada pertengahan Agustus 1945, seluruh senjata yang dibawa tentara Jepang pribumi dilucuti oleh komandannya.

Hambatan komunikasi menyebabkan Suparto dan seluruh tentara, yang ditinggalkan komandannya melarikan diri itu, tidak tahu kalau para pemimpin pribumi telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mantan tentara Jepang itu pun langsung disatukan lagi dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang lalu berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Aksi penghadangan

Suparto menjadi salah satu pejuang yang menghambat laju konvoi Sekutu dari Bogor ke Bandung di Kecamatan Gekbrong. "Perlawanan kami semakin meluap-luap setelah terjadi pertempuran di Bojongkokosan," ujar Suparto.

Dia mengatakan, perjuangannya saat menjadi bagian dari tentara dilaluinya dengan tulus tanpa mengharapkan apa pun selain mempertahankan kemerdekaan. "Saat bergerilya, kita diberi makan oleh masyarakat. Kalau ada yang memberi, ya, kita makan. Kalau tidak, ya tidak. Selama menjadi tentara, saya juga belum pernah digaji," ujarnya.

Beberapa bulan menikmati seragam Tentara Nasional Indonesia (TNI) - setelah berubah dari Tentara Rakyat Indonesia (TRI) - Suparto yang berpangkat sersan mayor berhenti dari militer karena permintaan kedua orangtuanya.

Suparto yang memiliki 11 anak dari perkawinannya dengan Sutisah (70), kemudian menjadi polisi keamanan Perkebunan Cikaso. Tahun 1967, Suparto menjadi satuan pengamanan (satpam) di Perusahaan Daerah Air Minum Kota Sukabumi hingga pensiun tahun 1980. Kini ia menerima uang pensiun sebesar Rp 682.000 per bulan, sementara masih ada empat anaknya yang tinggal bersamanya di Desa Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.

Kendati tulus berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Suparto mengaku sering sedih saat temannya mengambil pensiun sebagai veteran. Satu rupiah pun Suparto tak mendapatkan tunjangan atau pensiun sebagai veteran. Ia sedih, tapi tak bisa berteriak seperti berjuang dulu. (d03)

SUMUT GUDANG TOKOH PEJUANG INDONESIA

Sumut Gudang Tokoh Dan Pejuang Indonesia
Selasa, 06 November 2007 23:09 WIB
Pakar sejarah Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr. Phil Ichwan Azhari

mengatakan Sumatera Utara adalah gudangnya tokoh dan pejuang di

Indonesia. Namun hanya tujuh di antaranya yang diangkat menjadi

pahlawan nasional

Medan, WASPADA Online




Pakar sejarah Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr. Phil Ichwan Azhari mengatakan Sumatera Utara adalah
gudangnya tokoh dan pejuang di Indonesia. Namun hanya tujuh di antaranya yang diangkat menjadi pahlawan nasional




"Tidak ada daerah lain di Indonesia yang se kaya Sumut," kata Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Unimed
pada pameran memperingati hari pahlawan dengan tema "Mengenal Para Tokoh, Pejuang dan Pahlawan Sumatera
Utara", di Biro Rektor Unimed, Selasa (6/10).




Ichwan mengatakan, tidak hanya memiliki banyak pejuang yang angkat senjata melawan penjajahan


kolonialisme di Indonesia, tetapi Sumut juga mempunyai banyak penyair dan pemikir pada masa itu. Seperti Armyn
Pane, Amir Hamzah dan lainnya.




Dijelaskannya, hasil penelitian Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Unimed, setidaknya ada 500 tokoh dan pejuang
di Sumut. Dan yang berhasil diidentifikasi (dikumpulkan data secara lengkap) baru 200 orang.




Namun dari jumlah itu, hanya tujuh yang diakui sebagai pahlawan nasional Indonesia. Seperti Raja Sisingamangaraja
XII, Adam Malik, Amir Hamzah, FL Tobing, Kiras Bangun, Mohd Hasan dan Jenderal besar AH Nasution.




Menurutnya, banyaknya tokoh dan pejuang yang muncul, karena dulu Sumut adalah daerah yang paling dinamis di
Indonesia. Berbeda dengan daerah lain, kapitalisme melalui pengusaha perkebunan lebih dulu masuk ke Sumut, baru
kemudian kolonialisme. "Sehingga peradaban Eropa lebih dulu ada di sini," katanya.




Contohnya, kata Ichwan, Lapangan Merdeka yang meniru konsep bangunan di Eropa. Di mana sebuah lapangan besar,
dikelilingi balai kota, kantor pos, stasiun kereta api, hotel penting, dan didekatnya ada kawasan pertokoan seperti
kesawan.




"Lapangan Merdeka adalah bukti peradaban Eropa di Indonesia. Konsep lapangan yang sama bisa ditemukan di
berbagai kota di Eropa. Dan peradaban itu tidak ada di daerah lain, hanya ada di Medan. Tetapi sayangnya sekarang
sudah banyak yang diubah," katanya.




Lebih jauh dijelaskannya, para tokoh dan pejuang mulai tidak lagi muncul di Sumut sejak bentuk pemerintahan di
Indonesia berubah menjadi sentralistis. Sehingga semua pergerakan dipusatkan di Jakarta sebagai ibukota negara.
"Kalau dahulu, perjuangan melawan Belanda dilakukan di setiap daerah, tidak sentralistis," tambahnya.




Butuh Biaya Besar

Ichwan juga mengkritik sulitnya seorang tokoh dan pejuang diangkat menjadi pahlawan nasional di Indonesia. Bahkan,
katanya, agar bisa diangkat menjadi pahlawan nasional membutuhkan biaya sedikitnya Rp200 juta.




"Paling tidak keluarganya harus mengadakan seminar beberapa kali, kemudian nama tokoh atau pejuang itu harus
dijadikan nama jalan atau gedung terlebih dahulu, baru bisa diusulkan dinas sosial (Dinsos) provinsi ke pusat. Untuk itu
saja sudah berapa banyak biaya yang diperlukan. Seharusnya penilaian menjadi pahlawan nasional diserahkan kepada
para akademisi dan sejarawan," katanya.




Dibuka Rektor


Pameran dan Seminar "Mengenal para tokoh, pejuang dan pahlawan Sumatera Utara" tersebut dibuka Rektor Unimed,
Drs. Syawal Gultom M.Pd dan dihadiri Purek II Unimed Drs Chairul Azmi, MPd dan Purek III Drs Biner Ambarita, MPd.
Pada pameran tersebut ditampilkan biodata dan gambar para pahlawan, tokoh pers, dan para mantan Walikota Medan
dan Gubsu, juga buku-buku sejarah dan buku pahlawan pers. (h11) (ags)

AMANAT PANGLIMA TENTARA NASIONAL INDONESIA

Para Perwira, Bintara, Tamtama, dan Pegawai Negeri Sipil TNI di manapun bertugas dan berada,

Terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunianya, sehingga pada hari ini tanggal 10 November 2002 kita dapat memperingati hari pahlawan yang ke-57 dengan suasana penuh khidmat.

Peringatan hari pahlawan kali ini bertepatan dengan pelaksanaan ibadah puasa bagi umat Islam yang memasuki hari kelima. Selaku pimpinan TNI saya mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan kekuatan kepada kita semua dan semoga amal ibadah kita diterima oleh-Nya.

Para perwira, Bintara, Tamtama dan peserta upacara sekalian,

Setiap kali kita memperingati hari pahlawan, kita senantiasa merenungkan, menghayati dan mengingat kembali nilai-nilai kejuangan yang diwariskan oleh para pejuang dan pahlawan kemerdekaan pendahulu kita. Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah pada saat itu dilaksanakan dengan penuh keikhlasan disertai pengorbanan baik berupa materi maupun jiwa dan raga tanpa memikirkan imbalan dan balas jasa.

Kemerdekaan bangsa Indonesia yang kita nikmati hingga saat ini adalah merupakan hasil perjuangan dan pengorbanan dari seluruh rakyat Indonesia pada waktu itu dalam mewujudkan cita-cita untuk membangun sebuah bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat serta adil dan makmur.

Dalam setiap peringatan hari pahlawan sesungguhnya mengandung makna sebagai wujud pernyataan untuk memperkokoh tekad pengabdian bangsa Indonesia termasuk TNI dalam melanjutkan perjuangan para pahlawan kusuma bangsa guna memelihara, menjaga dan mempertahankan keutuhan wilayah negara kesatuan RI yang diproklamasikan sejak tahun 1945.